SULAWESINEWS.COM – Gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pekan lalu menyisakan berbagai kisah dramatis dari warga yang berjibaku menyelamatkan diri dari bencana tersebut. Salah satunya kisah berikut ini.
Gadis bertubuh mungil itu masih trauma bila melihat orang berlari di depannya. Ia juga terperanjat bila mendengar orang di sekitarnya berteriak. Maklum, Adetia Larasati, nama gadis berjilbab tersebut, nyaris menjadi korban gempa dan tsunami dahsyat yang terjadi pada Jumat, 28 September 2018, pukul 17.22 Wita, di Palu, Sulawesi Tengah.
Gadis kelahiran 1999 yang tercatat sebagai mahasiswi semester I Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (Untad), Palu, itu masih ingat betul gambaran mengerikan tentang bencana yang meluluhlantakkan Kota Palu. Kini ia sudah aman tinggal di rumah kakak iparnya di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
“Aku sampai sekarang seperti orang kaget kalau ada orang lari-lari. Aku masih trauma. Setiap ada orang teriak, aku bawaannya mau berlari,” ujar mahasiswi yang biasa disapa Ade oleh teman-temannya ini, mengisahkan kembali peristiwa yang dialaminya kepada wartawan melalui telepon, Selasa, 2 Oktober 2018.
Mahasiswi asal Tanjung Pelor, Kalimantan Utara, ini belum genap satu tahun tinggal di Palu. Dia masuk Untad pada 2018 dan tinggal di sebuah rumah kos di kawasan Undata Lama, tepatnya di belakang kantor TVRI Sulteng, Jalan Rajamoili/Jalan Undata, Kota Palu. Ade indekos bersama kakak sepupunya, Shella. Dari kampus Untad ke rumah kos perlu sekitar 20 menit bila menggunakan sepeda motor. Tempat kos itu juga hanya berjarak sepelemparan batu dari bibir Partai Talise di Teluk Palu.
Jumat petang pekan lalu itu menjadi hari yang tak akan terlupakan dalam kehidupan Ade. Ia sedang bersantai di tempat kosnya seorang diri. Shella sedang berada di kampus Untad. Saat waktu salat Magrib tiba, Ade bergegas mengambil air wudu, menggelar sajadah, dan mengenakan mukena.
Namun, belum sempat mengucapkan takbir, tiba-tiba lantai kamar kosnya bergetar hebat. Bumi pun serasa bergerak turun. “Saya langsung berlari ke luar dalam keadaan gempa. Saya melihat bangunan-bangunan pada runtuh,” tuturnya.
Belum juga degub jantungnya kembali normal, Ade mendengar teriakan orang bahwa gelombang tsunami sudah naik ke daratan. “Air pasang, air pasang.” Ade pun kebingungan di tengah ratusan orang yang berlarian tak tentu arah. “Ini pada mau ke mana jadinya?” Ade bertanya ke siapa pun yang dijumpainya. “Kita ke gunung,” seorang warga menyahut.
Ke gunung apa? Di mana letaknya? Lewat mana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memburu Ade di tengah situasi yang mencekam. Sebagai orang baru di Palu, ia belum hafal betul seluk-beluk daerah kota itu. Apalagi jalur evakuasi bila terjadi bencana alam tidak terlihat sama sekali di sana. Sementara itu, telepon selulernya terus berdering.
“Kakak sepupu (Shella) aku menelepon, ‘Tia di mana? Tia di mana?’ Aku jawab, air pasang, aku mau lari ke gunung. Habis itu langsung tidak ada sinyal. Mati total,” ucap Ade.
Ade mengikuti saja ke mana orang-orang menyelamatkan diri. Melihat sebuah mobil bak terbuka melintas, Ade melompat naik. Namun mobil itu berhenti di Jembatan Talise karena jembatan itu putus. Ade turun dan melihat-lihat sekitar. Ia berlari sekuat tenaga menuju kendaraan lainnya yang ada di pinggir jalan. Namun lagi-lagi mobil itu berhenti, entah kenapa.
Sementara itu, air laut dilihatnya datang bergulung-gulung dari arah Teluk Palu. Suara gelombang tsunami itu terdengar keras sekali di kedua telinga Ade, membuat hatinya makin ciut. Di tengah ketakutan, mata Ade tertuju pada mobil bak penuh orang yang tengah tancap gas. Ade berhasil menghentikan. “Ikut… Ikut… ‘Mau ke mana?’ Orang itu bilang mau ke gunung,” kata Ade.
Mobil pikap itu pun melaju kencang, dikejar tsunami. Dari atas mobil, Ade menyaksikan rumah dan bangunan atau benda apa pun yang ada di bibir pantai dilumat oleh gelombang tsunami. “Aku melihat dengan mata telanjang, air gelombang itu naik. Aku dikejar ombak di mobil bak terbuka itu,” katanya dengan suara lemah di ujung telepon.
Mobil yang ditumpanginya terus menjauh dari pantai, menerobos gelapnya malam menuju dataran tinggi Kecamatan Tatanga. Di atas mobil itu, tak hentinya Ade mengucap syukur masih diberi umur panjang, lolos dari maut. Bayang-bayang keluarganya di Kalimantan Utara lalu menggelayuti kepala Ade di sepanjang perjalanan malam itu.
Seluruh jaringan komunikasi di Palu memang padam seketika. Ketika mobil sudah berhenti di tempat yang aman, Ade hanya bisa celingak-celinguk. Perih di kakinya yang terluka mulai terasa. Seorang penduduk menghampiri dan menawarinya tinggal sementara waktu di rumahnya. Subuh keesokan harinya atau Sabtu, 29 September, Ade baru bisa menghubungi keluarganya di Kalimantan Utara.
Minggu, 30 September, Shella datang menjemput. Keduanya menangis berpelukan. Shella juga selamat dari gelombang tsunami setelah berhasil naik ke gunung. Lantas keduanya kembali ke kota, sebelum akhirnya pergi ke Poso. “Aku melihat rumah kosku jadi lautan lepas. Tadinya terhalang gedung,” kata Ade, yang sempat dikabarkan meninggal karena terseret tsunami oleh teman-temannya di kampus itu.
Ade mengatakan, setelah rasa traumanya hilang, ia tidak akan kembali ke Palu. Keluarga memintanya pindah kuliah ke Kalimantan. “Aku ikut rencana orang tua, akan pindah ke Kalimantan dan tidak melanjutkan di Untad,” pungkas Ade.
Source : Detik.com
. Sumber
0 Response to "Adetia Larasati, Mahasiswi Universitas Tadulako yang Lolos Dari Gempa dan Tsunami Palu"
Post a Comment